Foto Profil

Foto Profil
Senyum itu indah, maka tersenyumlah

Minggu, 09 Mei 2010


Perjalanan Hidup Buya Syafii
Siapa yang menyangka, jika seorang anak yang terlahir dari daerah terpelosok dan jauh dari kota, bisa menjadi seorang guru bangsa, bahkan diteladani banyak orang dari berbagai kalangan. Kehidupan kecil yang dilalui dalam keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di kampungnya, tidak membuat semangat dan kemampuannya hilang untuk belajar. Dialah Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah.
Kisahnya bermula dari kampung kecil bernama Calau, Nagari Sumpur Kudus Sumatera Barat. Di kampung terpencil itulah Syafii dilahirkan. Tepatnya pada tanggal 24 Mei 1935, dari pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah. Syafii Maarif adalah anak terakhir dari 4 bersaudara.
Fathiyah sangat senang dengan kehadiran Syafii, namun kesenangannya harus dibalut dengan kondisi tubuhnya yang terus memburuk dan lemah. Bahkan kehangatan cinta yang diberikan Fathiyah kepada Syafii tidak berlangsung lama. Disaat Syafii masih kecil, Fathiyah harus berpulang ke pangkuan Sang Khalik dengan tenang, meninggalkan anak-anak tersayang dan Ma’rifah, suami tercintanya.
Meski di tinggal sang Ibu, Syafii tetap tegar menjalani hidup berkat motivasi dari sang ayah. Ma’rifah tetap menunjukkan tanggung jawab dan kasih sayangnya kepada Syafii, bahkan melebihi saudaranya yang lain.
Suasana kampung Calau yang tentram, alamnya yang indah, dan jauh dari kesan angkuh memberikan kebahagiaan tersendiri bagi Syafii. Disanalah ia menghabiskan waktu kecil bersama keempat sahabatnya, Julai, Zainal, Makdiah, dan Hasan. Meskipun masing-masing dari mereka memiliki karakter yang berbeda, ikatan sahabat yang terjalin diantara mereka sangat erat dan kompak. Pergi sekolah, mandi, dan bermain adalah waktu bersama yang sering dihabiskan Syafii dan teman-temannya.
Berhubung di Calau tidak ada sekolah, Syafii dan teman-temannya terpaksa sekolah ke kota Nagari Sumpu Kudus yang harus di tempuh dengan jalan kaki sejauh 2 km. Syafii tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan keluarganya untuk menuntut ilmu. Waktu malam banyak ia gunakan untuk belajar yang hanya ditemani cahaya obor, karena kampung Calau pada saat itu belum mengenal energi listrik. Tidak heran jika kegigihannya dalam belajar membuahkan hasil. Prestasi akademiknya lebih tinggi dari teman-temannya yang lain.
Karena prestasi yang menonjol itulah, Pak Rahman, salah satu guru Syafii di Sekolah Rakyat memberikan kesempatan untuk lompat kelas. Kesempatan emas itu kembali dimanfaatkan Syafii untuk membahagiakan ayahnya, Ma’rifah. Setelah menjalani beberapa test, Syafii pun dinyatakan lulus dan berhak lompat kelas.
Pada saat itu pula, Syafii memperdalam ilmu di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM), yang terletak di pinggir kota Sumpur Kudus. Disinilah, pertama kalinya Syafii mengenal Muhammadiyah, organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan, pada 18 November 1912. Semakin hari, Syafii merasakan sebuah ketertarikan pada Muhammadiyah.
Setelah itu, Syafii meneruskan pendidikannya ke Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah yang ada di Balai Tengah, Lintau. Di Madrasah itu ia tinggal di asrama dan harus berpisah dengan sahabatnya, hanya Syafii yang mempunyai kesempatan untuk terus sekolah. Semangat belajar Syafii yang tinggi, membuatnya lulus dengan predikat baik.
Keinginan Syafii untuk terus memperdalam Muhammadiyah sangat kuat, meski kondisi ekonomi keluarganya tidak mendukung untuk sekolah lebih tinggi lagi. Namun, berkat doa-doa Tahajudnya, ia kembali mendapatkan kesempatan. Sanusi Latief, salah satu gurunya saat di MIM mengajaknya untuk melanjutkan ke Yogyakarta, pusat Muhammadiyah.
Dengan hati yang berat, Syafii meninggalkan seluruh keluarga, sahabat, dan kampung yang telah membesarkannya. Perlahan tapi pasti, Syafii menuju tanah Jawa dengan membawa misi manuntut ilmu agama dan membahagiakan keluarganya, memajukan kampung halaman setelah menuai sukses.
Ketika belajar di Yogyakarta itulah, nama Syafii mulai berkibar. Kecerdasan dan kepandaiannya dalam berpidato membuatnya menjadi bintang di kelas. Bahkan ia diamanahkan sebagai pemimpin redaksi majalah di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta berkat kemampuan menulisnya. Hingga saat itu, Syafii sangat menikmati samudra ilmu yang disuguhkan padanya, si anak kampung yang tangguh.
Melalui novel “Si Anak Kampoeng” yang ditulis oleh Damien Dematra, perjalanan hidup Buya Syafii dari sejak lahir, hingga hidup besar di Yogyakarta dalam menuntut ilmu, semuanya akan tergambarkan secara lengkap. Kecerdasan dan perjuangannya dalam merengkuh dunia layak dijadikan figur dan diteladani oleh generasi muda Indonesia.
Sebuah perjalanan hidup yang sangat inspiratif. Novel “Si Anak Kampung” mengajarkan kepada setiap pembacanya, bahwa keterbatasan bukan alasan untuk kalah. Sebaliknya, memanfaatkan kesempatan emas merupakan cara terbaik untuk mensyukuri kehidupan dan sukses.
Judul Novel : Si Anak Kampoeng
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Februari, 2010
Halaman : IX+248 halaman
Peresensi : Khoirul Umam, Mahasiswa Biologi Unmuh Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar